Novena Slasa Kliwonan ke 9 membahas karya-karya Gereja
berkaitan dengan kebudayaan. Gereja sangat kaya dengan simbol-simbol
kebudayaan. Kebudayaan dan seni menjadi ruang dialog yang mempertemukan aneka
macam kebudayaan, bahkan aneka macam kepercayaan. Bagaimana selama ini kita
memaknai budaya dan seni? Perjumpaan dengan kebudayaan dalam ranah pembicaraan
teologi masuk dalam pembelajaran mengenai inkulturasi. Apa inkulturasi itu?
“Inkulturasi bukan hanya adaptasi atas pola
Kekristenan yang sudah ada ke dalam situasi aktual, tetapi lebih dari itu
merupakan perwujudan Sabda ke dalam diri Gereja lokal. Ini adalah basis dan
proses dasar inkulturasi … Dalam proses inkulturasi orang menerima sabda,
menjadikannya dasar hidup, nilai, kebiasaan, dan ungkapan kehendak. Dengan cara
inilah orang menjadi bagian dari Tubuh Kristus di sini dan saat ini – sebagai
Gereja lokal … Komunitas menemukan identitas baru tanpa kehilangan kekayaan
budayanya karena mengintegrasikannya secara utuh sebagai sakramen cinta Allah
yang membebaskan manusia” (FAPA I, 16, 23 – dokumen FABC I).
Tulisan di atas adalah
hasil refleksi para Uskup Asia pada sidang FABC tahun 1985. Asia memiliki
sejarah panjang dan terus menerus membuat terobosan untuk mewartakan Injil
dalam keanekaragaman budaya dan agama.
Jauh sebelum kata
inkulturasi ditemukan, para misionaris kepulauan Nusantara sudah menyadari
persinggungan budaya yang akan terjadi ketika Injil diwartakan. Romo Palinckx
pada tahun 1859 sudah mewanti-wanti dengan pokok-pokok catatan ketika seorang
misionaris memulai karya misinya, terutama di Jawa. Setahun dua tahun pertama
para misionaris dilarang untuk bicara agama, tetapi masuk ke
pedalaman-pedalaman dan dengan sabar mempelajari bahasa Jawa. Demikian juga
halnya yang dibuat oleh Romo Hoevenaarst dan Romo van Lith.
Romo van Lith
melanjutkan pengembangan pengajaran dengan bahasa, gamelan, tembang-tembang
Jawa, dan wayang. Lebih dari itu, Romo van Lith tidak hanya mempelajari budaya
Jawa sekedar sebagai sarana bermisi, namun bahkan menurut kesaksian para
muridnya, tutur kata, cara hidup, dan laku Romo van Lith sudah dianggap ‘lebih
Jawa daripada orang Jawa sendiri’.
Ke-Jawa-an Romo van Lith ini terasa dalam
terjemahan doa Bapa Kami ke dalam nuansa Jawa ini:
Soemongga angloehoeraken asma dalem
Soemongga andjoemenengaken kraton dalem
Soemongga sakarsa dalem kaleksanana ing
donya
kados ing swarga
Abdidalem njadong paring dalem redjeki
kangge sapoenika
Sakatahing dosa kawoela njoewoen pangaksama
dalem
dene abdidalem sampoen angapoenten
lepatipoen sesami
Abdidalem soepados lepat saking panggoda
Saha mardika saking pihawon. Amin.
Gereja
dan kebudayaan
Kini
kebudayaan tidak hanya dipahami sebatas bahasa, kesenian, atau pakaian.
Kebudayaan adalah keseluruhan cara hidup masyarakat di suatu tempat. Injil
diwartakan bukan kepada benda-benda mati, melainkan kepada orang-orang dengan
cara hidup dan konteks tertentu. Bisa jadi satu dan lain tempat memiliki
kekhasan masing-masing. Namun demikian, itu semua merupakan bagian dari hidup
Gereja juga, karena:
Kegembiraan
dan harapan,
duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang
menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid
Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka.
Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam
Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan
telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka
persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat
manusia serta sejarahnya.(GS 1).
Sebagaimana Romo van
Lith menyelami hidup orang Jawa dengan simbol-simbol ekspresi seni dan bahasa,
Gereja juga erat dengan simbol-simbol ekspresi budaya dalam rangka berbagi
kegembiraan, harapan, duka, dan kecemasan dengan masyarakat dimana Gereja berada.
Orang Jawa mengenal kata “tontonan lan
tuntunan.” Simbol-simbol kesenian menjadi simpul-simpul pesan reflektif
pemaknaan terhadap hidup sehari-hari. Orang menonton drama kethoprak yang
mengharu biru, menonton gerak tari jathilan yang bersemangat, macapatan yang
mendayu-dayu bukan semata-mata sebagai pertunjukan hiburan, melainkan sebagai
sebuah ketakziman saat reflektif untuk mengambil jarak dari kehidupan.
Muntilan yang dikatakan
sebagai Bethlehem van Java oleh Romo van Lith ini hidup karena aliran sumber-sumber
mata air yang berhulu di Merapi dan Merbabu. Kedua gunung itu ternyata bukan
hanya mengalirkan kesuburan dan sumber pangan, tetapi juga mengalirkan ragam
seni dan kebudayaan sebagai tuntunan.
Belajar dari Romo van
Lith dan sadar pada situasi tersebut, dibuatlah ruang dialog kehidupan melalui
dialog ekspresi seni budaya dalam kegiatan-kegiatan Gelar Budaya Misioner. Gelar
Budaya Misioner tahun 2012 dilaksanakan sebagai untuk memulai jaringan misioner
lintas kelompok seni dan agama, dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 28
Oktober 2012. Gelar Budaya Tahun 2013 mengambil tema “Bangga Dalam Budaya, Gembira Dalam Bersaudara, Berkobar Dalam
Nasionalisme Indonesia.” melanjutkan semangat Gelar Budaya tahun sebelumnya
dan secara khusus memaknai Hari Pahlawan dengan semangat patriotisme dan
nasionalisme orang-orang muda. Gelar Budaya ini dipuncaki dengan pentas
ketoprak gabungan berjudul Paseduluran
Tanpa Tepi yang disutradarai oleh Bapak Bondhan Nusantara. Gelar Budaya tahun
2014 merupakan gerakan sinergi bersama dengan Komisi Hubungan Agama dan
Kepercayaan, Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi, Komisi Kepemudaan KAS, dan
Komisi Karya Misioner dalam bentuk Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman.
Gelar budaya ini diselenggarakan dengan rangkaian seminar dialog lintas agama,
pertunjukan seni, dan bazaar produk-produk peternakan, pertanian, dan pangan.
Gelar Budaya 2015: Ngrukti Kali: Ngruwat Lamat
Alam adalah rumah kita.
Kalau kita memahami rumah sebagai tempat budidaya kehidupan, regenerasi
keturunan, pewarisan nilai, budidaya cintakasih, penyemaian iman, bertumbuhnya
panggilan kesucian, pelatihan tanggungjawab, dan aneka macam kebaikan lainnya,
demikian pula dengan alam. Dalam ensiklik Laudato Si, Paus Fransiskus
mengingatkan tanggungjawab kita sebagai orang beriman terhadap alam.
Itulah gagasan dasar
Gelar Budaya tahun 2015. Konkritnya, kepedulian akan alam tersebut diwujudkan
dengan perhatian pada kebersihan dan kelestarian kali Lamat. Kali Lamat
mengalir dari Merapi, melewati desa-desa dan membelah Muntilan persis di
samping kompleks Misi Muntilan. Kali Lamat menjadi saksi sejarah sejak Romo van
Lith menyemaikan benih iman perdana di Bethlehem van Java. Kali ini juga
menjadi cermin budaya hidup manusia di sekitarnya. Sayangnya cermin itu keruh
oleh sampah.
Gerakan Ngrukti Kali
Ngruwat Lamat dimulai dengan gerakan turun kali untuk membersihkan sungai dari
sampah. Gerakan bertahap ini dibuat dengan melibatkan anak-anak sekolah,
komunitas-komunitas peduli alam, instansi pemerintah, dan juga warga masyarakat
di sekitar Kali Lamat. Digelar ruwatan kali Lamat untuk meruwat kali yang
terancam oleh manusia. Ada pula sarasehan-sarasehan mengenai Kali Lamat dan
sejarahnya. Kesenian-kesenian digelar untuk merefleksikan relasi manusia dengan
alam, ada Ketoprak Golek, ada tarian Jingkrak Sundang, ada Wayang Gunung yang
unik dan menggelitik.
Namun demikian,
perhatian pada alam ciptaan tidak cukup hanya dengan satu kali momen Gelar
Budaya ini. perhatian pada alam ciptaan membutuhkan pertobatan budaya cara hidup
manusia. Oleh karena itu, masih perlu menjadi pemikiran lanjutan untuk
mengelola kesadaran berkaitan dengan pelestarian, penjagaan, dan perawatan alam
ini.
0 komentar:
Posting Komentar