Selasa, 10 Mei 2016

Novena Misioner Malem Slasa Kliwon di Kerkof Rm. Sandjaja: Lembaga Hidup Bhakti dan Keterlibatan dalam Dunia Politik dan Budaya



Novena Slasa Kliwonan ke 9 membahas karya-karya Gereja berkaitan dengan kebudayaan. Gereja sangat kaya dengan simbol-simbol kebudayaan. Kebudayaan dan seni menjadi ruang dialog yang mempertemukan aneka macam kebudayaan, bahkan aneka macam kepercayaan. Bagaimana selama ini kita memaknai budaya dan seni? Perjumpaan dengan kebudayaan dalam ranah pembicaraan teologi masuk dalam pembelajaran mengenai inkulturasi. Apa inkulturasi itu?

 
 “Inkulturasi bukan hanya adaptasi atas pola Kekristenan yang sudah ada ke dalam situasi aktual, tetapi lebih dari itu merupakan perwujudan Sabda ke dalam diri Gereja lokal. Ini adalah basis dan proses dasar inkulturasi … Dalam proses inkulturasi orang menerima sabda, menjadikannya dasar hidup, nilai, kebiasaan, dan ungkapan kehendak. Dengan cara inilah orang menjadi bagian dari Tubuh Kristus di sini dan saat ini – sebagai Gereja lokal … Komunitas menemukan identitas baru tanpa kehilangan kekayaan budayanya karena mengintegrasikannya secara utuh sebagai sakramen cinta Allah yang membebaskan manusia” (FAPA I, 16, 23 – dokumen FABC I).


Tulisan di atas adalah hasil refleksi para Uskup Asia pada sidang FABC tahun 1985. Asia memiliki sejarah panjang dan terus menerus membuat terobosan untuk mewartakan Injil dalam keanekaragaman budaya dan agama.
Jauh sebelum kata inkulturasi ditemukan, para misionaris kepulauan Nusantara sudah menyadari persinggungan budaya yang akan terjadi ketika Injil diwartakan. Romo Palinckx pada tahun 1859 sudah mewanti-wanti dengan pokok-pokok catatan ketika seorang misionaris memulai karya misinya, terutama di Jawa. Setahun dua tahun pertama para misionaris dilarang untuk bicara agama, tetapi masuk ke pedalaman-pedalaman dan dengan sabar mempelajari bahasa Jawa. Demikian juga halnya yang dibuat oleh Romo Hoevenaarst dan Romo van Lith.
Romo van Lith melanjutkan pengembangan pengajaran dengan bahasa, gamelan, tembang-tembang Jawa, dan wayang. Lebih dari itu, Romo van Lith tidak hanya mempelajari budaya Jawa sekedar sebagai sarana bermisi, namun bahkan menurut kesaksian para muridnya, tutur kata, cara hidup, dan laku Romo van Lith sudah dianggap ‘lebih Jawa daripada orang Jawa sendiri’.
Ke-Jawa-an Romo van Lith ini terasa dalam terjemahan doa Bapa Kami ke dalam nuansa Jawa ini:
Kangdjeng Rama ing swarga,
Soemongga angloehoeraken asma dalem
Soemongga andjoemenengaken kraton dalem
Soemongga sakarsa dalem kaleksanana ing donya 
kados ing swarga
Abdidalem njadong paring dalem redjeki kangge sapoenika
Sakatahing dosa kawoela njoewoen pangaksama dalem
dene abdidalem sampoen angapoenten lepatipoen sesami
Abdidalem soepados lepat saking panggoda
Saha mardika saking pihawon. Amin.


Gereja dan kebudayaan

Kini kebudayaan tidak hanya dipahami sebatas bahasa, kesenian, atau pakaian. Kebudayaan adalah keseluruhan cara hidup masyarakat di suatu tempat. Injil diwartakan bukan kepada benda-benda mati, melainkan kepada orang-orang dengan cara hidup dan konteks tertentu. Bisa jadi satu dan lain tempat memiliki kekhasan masing-masing. Namun demikian, itu semua merupakan bagian dari hidup Gereja juga, karena: 

Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya.(GS 1).
Sebagaimana Romo van Lith menyelami hidup orang Jawa dengan simbol-simbol ekspresi seni dan bahasa, Gereja juga erat dengan simbol-simbol ekspresi budaya dalam rangka berbagi kegembiraan, harapan, duka, dan kecemasan dengan masyarakat dimana Gereja berada. Orang Jawa mengenal kata “tontonan lan tuntunan.” Simbol-simbol kesenian menjadi simpul-simpul pesan reflektif pemaknaan terhadap hidup sehari-hari. Orang menonton drama kethoprak yang mengharu biru, menonton gerak tari jathilan yang bersemangat, macapatan yang mendayu-dayu bukan semata-mata sebagai pertunjukan hiburan, melainkan sebagai sebuah ketakziman saat reflektif untuk mengambil jarak dari kehidupan.
Muntilan yang dikatakan sebagai Bethlehem van Java oleh Romo van Lith ini hidup karena aliran sumber-sumber mata air yang berhulu di Merapi dan Merbabu. Kedua gunung itu ternyata bukan hanya mengalirkan kesuburan dan sumber pangan, tetapi juga mengalirkan ragam seni dan kebudayaan sebagai tuntunan.
Belajar dari Romo van Lith dan sadar pada situasi tersebut, dibuatlah ruang dialog kehidupan melalui dialog ekspresi seni budaya dalam kegiatan-kegiatan Gelar Budaya Misioner. Gelar Budaya Misioner tahun 2012 dilaksanakan sebagai untuk memulai jaringan misioner lintas kelompok seni dan agama, dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 2012. Gelar Budaya Tahun 2013 mengambil tema “Bangga Dalam Budaya, Gembira Dalam Bersaudara, Berkobar Dalam Nasionalisme Indonesia.” melanjutkan semangat Gelar Budaya tahun sebelumnya dan secara khusus memaknai Hari Pahlawan dengan semangat patriotisme dan nasionalisme orang-orang muda. Gelar Budaya ini dipuncaki dengan pentas ketoprak gabungan berjudul Paseduluran Tanpa Tepi yang disutradarai oleh Bapak Bondhan Nusantara. Gelar Budaya tahun 2014 merupakan gerakan sinergi bersama dengan Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan, Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi, Komisi Kepemudaan KAS, dan Komisi Karya Misioner dalam bentuk Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman. Gelar budaya ini diselenggarakan dengan rangkaian seminar dialog lintas agama, pertunjukan seni, dan bazaar produk-produk peternakan, pertanian, dan pangan.

Gelar Budaya 2015: Ngrukti Kali: Ngruwat Lamat
Alam adalah rumah kita. Kalau kita memahami rumah sebagai tempat budidaya kehidupan, regenerasi keturunan, pewarisan nilai, budidaya cintakasih, penyemaian iman, bertumbuhnya panggilan kesucian, pelatihan tanggungjawab, dan aneka macam kebaikan lainnya, demikian pula dengan alam. Dalam ensiklik Laudato Si, Paus Fransiskus mengingatkan tanggungjawab kita sebagai orang beriman terhadap alam.
Itulah gagasan dasar Gelar Budaya tahun 2015. Konkritnya, kepedulian akan alam tersebut diwujudkan dengan perhatian pada kebersihan dan kelestarian kali Lamat. Kali Lamat mengalir dari Merapi, melewati desa-desa dan membelah Muntilan persis di samping kompleks Misi Muntilan. Kali Lamat menjadi saksi sejarah sejak Romo van Lith menyemaikan benih iman perdana di Bethlehem van Java. Kali ini juga menjadi cermin budaya hidup manusia di sekitarnya. Sayangnya cermin itu keruh oleh sampah.
Gerakan Ngrukti Kali Ngruwat Lamat dimulai dengan gerakan turun kali untuk membersihkan sungai dari sampah. Gerakan bertahap ini dibuat dengan melibatkan anak-anak sekolah, komunitas-komunitas peduli alam, instansi pemerintah, dan juga warga masyarakat di sekitar Kali Lamat. Digelar ruwatan kali Lamat untuk meruwat kali yang terancam oleh manusia. Ada pula sarasehan-sarasehan mengenai Kali Lamat dan sejarahnya. Kesenian-kesenian digelar untuk merefleksikan relasi manusia dengan alam, ada Ketoprak Golek, ada tarian Jingkrak Sundang, ada Wayang Gunung yang unik dan menggelitik.
Namun demikian, perhatian pada alam ciptaan tidak cukup hanya dengan satu kali momen Gelar Budaya ini. perhatian pada alam ciptaan membutuhkan pertobatan budaya cara hidup manusia. Oleh karena itu, masih perlu menjadi pemikiran lanjutan untuk mengelola kesadaran berkaitan dengan pelestarian, penjagaan, dan perawatan alam ini.  















0 komentar:

Posting Komentar