Keluarga Sebagai Seminari Kecil
Omong
panggilan tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan mengenai keluarga. Keluarga
adalah berkat istimewa Ilahi melalui sakramen perkawinan. Keluarga adalah
Gereja kecil rumah tangga yang mengalirkan tugas untuk membangun kesucian dalam
kasih dan usaha mendidik anak-anak secara Katolik (LG 11)
para suami-isteri Kristiani dengan sakramen perkawinan menandakan misteri kesatuan
dan cinta kasih yang subur antara Kristus dan gereja, dan ikut serta menghayati
misteri itu (lih. Ef 5:32); atas kekuatan sakramen mereka itu dalam hidup
berkeluarga maupun dalam menerima serta mendidik anak saling membantu untuk
menjadi suci; dengan demikian dalam status hidup dan kedudukannya mereka
mempunyai kurnia yang khas ditengah Umat Allah (lih. 1Kor 7:7)(21). Sebab dari
persatuan suami-isteri itu yang berkat
rahmat Roh Kudus karena babtis diangkat menjadi anak-anak Allah dari abad ke
abad. Dalam Gereja-keluarga itu hendaknya orang tua dengan perkataan maupun
teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang tua wajib
memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani
Panggilan Keluarga di Zaman ini
Di
jaman modern, keluarga mengalami aneka tantangan yang tidak sedikit. Namun
demikian, keluarga diajak untuk terus menyadari panggilannya sebagai bait
kehadiran ilahi di dunia ini. Paus Yohanes Paulus II mengamanatkan dalam
Familiaris Consortio agar sejak dari persiapannya perkawinan dikawal sedemikian
rupa sebagai pelaksanaan panggilan kekudusan dan pewartaan Injil (FC 4).
Paus
Fransiskus juga merasakan perlunya perhatian Gereja bagi keluarga-keluarga
Kristiani. Pada bulan Oktober 2014 yang lalu, diundanglah sebuah Synode Luar
Biasa mengenai keluarga. Di antara pesan-pesan yang disampaikan dari sinode tersebut, para uskup
mengingatkan panggilan kekudusan Keluarga yang lahir dari kesederhanaan hidup
sehari-hari:
Keluarga mengalami
kehadiran-Nya dalam kasih sayang dan dialog antara suami dan istri, para orang
tua dan anak-anak, para saudara laki-laki dan saudara perempuan. Mereka
memeluk-Nya dalam doa keluarga dan mendengarkan Sabda Allah – sebuah
oase semangat harian, yang sederhana. Mereka menemukan-Nya setiap hari ketika
mereka mendidik anak-anak mereka dalam iman dan dalam keindahan sebuah kehidupan
yang dihayati menurut Injil, sebuah kehidupan yang kudus
Memang benar ada banyak unsur yang membentuk keluarga. Di antaranya adalah cinta, kesejahteraan, dan harapan untuk mendapatkan keturunan. Namun demikian, nilai sakramentalitas keluarga hanya dapat dipahami dalam kerangka iman. Dengan penuh iman, Gereja mensyukuri perkawinan katolik sebagai sakramen, yaitu tanda kehadiran Allah Tritunggal dalam hidup berkeluarga. Perjumpaan dengan Kristus membawa sukacita Injil (bdk. Evangelii Gaudium 1). Pasangan suami-istri percaya bahwa Allah menghendaki, memberkati, dan mencintai keluarganya. Keyakinan ini meneguhkan suami-istri untuk setia dalam untung dan malang serta menambah sukacita dalam keluarga baik secara spiritual, relasional, maupun sosial.
Keluarga
kudus Nazareth adalah contoh yang paling sederhana bagaimana keluarga katolik
dihayati sebagai ladang sukacita Injil yang paling subur, tempat Allah menabur,
menyemai, dan mengembangkan benih-benih sukacita Injil. Di dalam keluarga,
suami-istri dan anak-anak saling mengasihi, membutuhkan, dan melengkapi. Kesabaran,
pengertian, dan kebersamaan saat makan, doa, dan pergi ke gereja adalah wujud
nyata kasih sayang tersebut. Kasih yang dibagikan tidak pernah habis, tetapi
justru meningkatkan sukacita dalam keluarga. Sukacita keluarga dialami secara
relasional saat menjalin perjumpaan dan kebersamaan hidup yang bermutu,
mempererat relasi kasih, saling memaafkan, menunjukkan sikap tenggang-rasa dan
keberanian berkorban, serta sadar akan tanggungjawab pada generasi selanjutnya.
Sukacita keluarga dialami secara sosial melalui kepedulian terhadap orang lain,
pelayanan tulus terhadap sesama, pekerjaan sesuai panggilan, dan keteladanan
hidup. Sukacita makin sempurna saat keluarga disapa dan diteguhkan oleh Gereja
dalam pelayanannya. Sukacita keluarga dialami secara spiritual dalam hubungan
dengan Allah melalui kegiatan rohani sehingga kerinduan akan Sabda Allah
tumbuh, iman makin tangguh, kepasrahan meningkat, dan pengalaman dicintai Allah
dirasakan.
Adakah keluarga yang “tidak bermasalah?”
Dalam
tampilan teater Opera van Kerkop yang disajikan oleh teman-teman OMK Banteng
dikemukakan beberapa problematika yang dihadapi kaum muda Katolik dalam
menjawab panggilan. Kalau boleh jujur, rasanya mustahil ada keluarga yang tidak
pernah memiliki permasalahan dalam perjalanannya. Sebagian keluarga membutuhkan
perjuangan lebih karena menghadapi aneka tantangan dan kelemahan.
Tantangan
itu antara lain: kesulitan ekonomi, situasi sosial, budaya, agama dan
kepercayaan yang tidak selaras dengan nilai-nilai perkawinan katolik seperti
poligami, mahalnya mas kawin, dan kuatnya tuntutan pernikahan adat, hidup
sebagai keluarga migran atau rantau, perkembangan media informasi yang
menggantikan perjumpaan pribadi, dan pemujaan kebebasan serta kenikmatan pribadi.
Kelemahan
itu antara lain: kekurang-dewasaan pribadi dan kepicikan wawasan, penyakit dan
meninggalnya pasangan, keterbatasan kemampuan orang tua untuk mengikuti
perkembangan dan pendidikan anak-anak, ketidak-tahuan tentang makna dan tujuan
perkawinan katolik, kesulitan dan ketidakmampuan untuk hidup bersama karena
perbedaan agama dan budaya, hidup dalam perkawinan tidak sah, ketidak-setiaan
dalam perkawinan, hadirnya orang ketiga (idaman lain atau keluarga besar
pasangan), dan perpisahan yang tak terelakkan.
Tantangan
dan kelemahan hidup dalam keluarga akan selalu ada, namun usaha untuk membangun
iman dan kasih tidak boleh kehabisan harapan. Keluarga diundang untuk bersikap
dewasa, bertindak bijaksana, dan tetap beriman dengan tidak menyalahkan situasi,
tetapi setia mencari kehendak Allah melalui doa dan Sabda Allah, mengutamakan
pengampunan dan peneguhan di antara anggota keluarga, serta pergi menjumpai
pribadi atau komunitas beriman yang mampu membangkitkan harapan.
Keluarga
yang mengandalkan Allah percaya bahwa Allah tidak pernah meninggalkannya.
Selalu ada jalan keluar. Tantangan adalah kesempatan untuk bertumbuh dalam
kepribadian serta iman, harapan, dan kasih. Tantangan tidak harus menyuramkan
nilai-nilai perkawinan dan hidup berkeluarga. Melalui tantangan itu, Allah
mengerjakan karya keselamatanNya di dalam dan melalui keluarga.
Gereja
terpanggil untuk bersama-sama mencari, menyapa, mendengarkan dan bersehati
dengan keluarga yang sedang menghadapi tantangan, termasuk mereka yang tidak
sanggup mempertahankan nilai-nilai hidup perkawinan dan keluarga. Di sinilah
Gereja hadir untuk menampilkan wajah Allah yang murah hati dan berbelas kasih,
terutama bagi keluarga yang berada dalam situasi sulit. Dalam kemurahan dan
belas kasih Allah, keluarga-keluarga tidak akan mengalami kebuntuan dalam perjalanannya
meraih kebahagiaan.
Kehadiran
para suster MASF dan anggota Tarekat MSF memunculkan harapan bahwa Gereja
sungguh-sungguh dalam mendampingi keluarga-keluarga. Kini Tim pendamping
keluarga juga sudah mulai merata hadir di paroki-paroki. Kehadiran mereka
diharapkan memberi rasa aman bagi keluarga-keluarga, dan terutama menjadi teman
seperjalanan bagi yang bermasalah. Sebagai Gereja Rumah-Tangga, keluarga
menjadi pusat iman, pewartaan iman, pembinaan kebajikan, dan kasih kristiani
dengan mengikuti cara hidup Gereja Perdana (Kis 2: 41-47; 4: 32-37). Gereja
Rumah-Tangga mengambil bagian dalam tiga fungsi imamat umum Yesus Kristus,
yaitu guru untuk mengajar, imam untuk menguduskan, dan gembala untuk memimpin.
Gereja Rumah-Tangga di Indonesia dibangun berdasarkan nilai-nilai kristiani
yang diwujudkan dalam masyarakat yang majemuk.
Ketika
keluarga kembali bisa menemukan sukacita Injil di dalamnya, disanalah panggilan
akan bersemi dan bertunas. Keluargalah kunci panggilan. Keluarga utuh,
masyarakat tangguh. Keluarga sehat, panggilan berlipat.
0 komentar:
Posting Komentar