Minggu, 01 Mei 2016

Novena Misioner Malem Slasa Kliwon di Kerkof Rm. Sandjaja; Lembaga Hidup Bhakti dan Karya Pendampingan Keluarga



Keluarga Sebagai Seminari Kecil
Omong panggilan tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan mengenai keluarga. Keluarga adalah berkat istimewa Ilahi melalui sakramen perkawinan. Keluarga adalah Gereja kecil rumah tangga yang mengalirkan tugas untuk membangun kesucian dalam kasih dan usaha mendidik anak-anak secara Katolik (LG 11)
 para suami-isteri Kristiani dengan sakramen perkawinan menandakan misteri kesatuan dan cinta kasih yang subur antara Kristus dan gereja, dan ikut serta menghayati misteri itu (lih. Ef 5:32); atas kekuatan sakramen mereka itu dalam hidup berkeluarga maupun dalam menerima serta mendidik anak saling membantu untuk menjadi suci; dengan demikian dalam status hidup dan kedudukannya mereka mempunyai kurnia yang khas ditengah Umat Allah (lih. 1Kor 7:7)(21). Sebab dari persatuan suami-isteri itu  yang berkat rahmat Roh Kudus karena babtis diangkat menjadi anak-anak Allah dari abad ke abad. Dalam Gereja-keluarga itu hendaknya orang tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani

Panggilan Keluarga di Zaman ini
Di jaman modern, keluarga mengalami aneka tantangan yang tidak sedikit. Namun demikian, keluarga diajak untuk terus menyadari panggilannya sebagai bait kehadiran ilahi di dunia ini. Paus Yohanes Paulus II mengamanatkan dalam Familiaris Consortio agar sejak dari persiapannya perkawinan dikawal sedemikian rupa sebagai pelaksanaan panggilan kekudusan dan pewartaan Injil (FC 4).
Paus Fransiskus juga merasakan perlunya perhatian Gereja bagi keluarga-keluarga Kristiani. Pada bulan Oktober 2014 yang lalu, diundanglah sebuah Synode Luar Biasa mengenai keluarga. Di antara pesan-pesan yang  disampaikan dari sinode tersebut, para uskup mengingatkan panggilan kekudusan Keluarga yang lahir dari kesederhanaan hidup sehari-hari:
Keluarga mengalami kehadiran-Nya dalam kasih sayang dan dialog antara suami dan istri, para orang tua dan anak-anak, para saudara laki-laki dan saudara perempuan. Mereka memeluk-Nya dalam doa keluarga dan mendengarkan Sabda Allah – sebuah oase semangat harian, yang sederhana. Mereka menemukan-Nya setiap hari ketika mereka mendidik anak-anak mereka dalam iman dan dalam keindahan sebuah kehidupan yang dihayati menurut Injil, sebuah kehidupan yang kudus



Memang benar ada banyak unsur yang membentuk keluarga. Di antaranya adalah cinta, kesejahteraan, dan harapan untuk mendapatkan keturunan. Namun demikian, nilai sakramentalitas keluarga hanya dapat dipahami dalam kerangka iman. Dengan penuh iman, Gereja mensyukuri perkawinan katolik sebagai sakramen, yaitu tanda kehadiran Allah Tritunggal dalam hidup berkeluarga. Perjumpaan dengan Kristus membawa sukacita Injil (bdk. Evangelii Gaudium 1). Pasangan suami-istri percaya bahwa Allah menghendaki, memberkati, dan mencintai keluarganya. Keyakinan ini meneguhkan suami-istri untuk setia dalam untung dan malang serta menambah sukacita dalam keluarga baik secara spiritual, relasional, maupun sosial.
Keluarga kudus Nazareth adalah contoh yang paling sederhana bagaimana keluarga katolik dihayati sebagai ladang sukacita Injil yang paling subur, tempat Allah menabur, menyemai, dan mengembangkan benih-benih sukacita Injil. Di dalam keluarga, suami-istri dan anak-anak saling mengasihi, membutuhkan, dan melengkapi. Kesabaran, pengertian, dan kebersamaan saat makan, doa, dan pergi ke gereja adalah wujud nyata kasih sayang tersebut. Kasih yang dibagikan tidak pernah habis, tetapi justru meningkatkan sukacita dalam keluarga. Sukacita keluarga dialami secara relasional saat menjalin perjumpaan dan kebersamaan hidup yang bermutu, mempererat relasi kasih, saling memaafkan, menunjukkan sikap tenggang-rasa dan keberanian berkorban, serta sadar akan tanggungjawab pada generasi selanjutnya. Sukacita keluarga dialami secara sosial melalui kepedulian terhadap orang lain, pelayanan tulus terhadap sesama, pekerjaan sesuai panggilan, dan keteladanan hidup. Sukacita makin sempurna saat keluarga disapa dan diteguhkan oleh Gereja dalam pelayanannya. Sukacita keluarga dialami secara spiritual dalam hubungan dengan Allah melalui kegiatan rohani sehingga kerinduan akan Sabda Allah tumbuh, iman makin tangguh, kepasrahan meningkat, dan pengalaman dicintai Allah dirasakan.

Adakah keluarga yang “tidak bermasalah?”
Dalam tampilan teater Opera van Kerkop yang disajikan oleh teman-teman OMK Banteng dikemukakan beberapa problematika yang dihadapi kaum muda Katolik dalam menjawab panggilan. Kalau boleh jujur, rasanya mustahil ada keluarga yang tidak pernah memiliki permasalahan dalam perjalanannya. Sebagian keluarga membutuhkan perjuangan lebih karena menghadapi aneka tantangan dan kelemahan.
Tantangan itu antara lain: kesulitan ekonomi, situasi sosial, budaya, agama dan kepercayaan yang tidak selaras dengan nilai-nilai perkawinan katolik seperti poligami, mahalnya mas kawin, dan kuatnya tuntutan pernikahan adat, hidup sebagai keluarga migran atau rantau, perkembangan media informasi yang menggantikan perjumpaan pribadi, dan pemujaan kebebasan serta kenikmatan pribadi.
Kelemahan itu antara lain: kekurang-dewasaan pribadi dan kepicikan wawasan, penyakit dan meninggalnya pasangan, keterbatasan kemampuan orang tua untuk mengikuti perkembangan dan pendidikan anak-anak, ketidak-tahuan tentang makna dan tujuan perkawinan katolik, kesulitan dan ketidakmampuan untuk hidup bersama karena perbedaan agama dan budaya, hidup dalam perkawinan tidak sah, ketidak-setiaan dalam perkawinan, hadirnya orang ketiga (idaman lain atau keluarga besar pasangan), dan perpisahan yang tak terelakkan.
Tantangan dan kelemahan hidup dalam keluarga akan selalu ada, namun usaha untuk membangun iman dan kasih tidak boleh kehabisan harapan. Keluarga diundang untuk bersikap dewasa, bertindak bijaksana, dan tetap beriman dengan tidak menyalahkan situasi, tetapi setia mencari kehendak Allah melalui doa dan Sabda Allah, mengutamakan pengampunan dan peneguhan di antara anggota keluarga, serta pergi menjumpai pribadi atau komunitas beriman yang mampu membangkitkan harapan.
Keluarga yang mengandalkan Allah percaya bahwa Allah tidak pernah meninggalkannya. Selalu ada jalan keluar. Tantangan adalah kesempatan untuk bertumbuh dalam kepribadian serta iman, harapan, dan kasih. Tantangan tidak harus menyuramkan nilai-nilai perkawinan dan hidup berkeluarga. Melalui tantangan itu, Allah mengerjakan karya keselamatanNya di dalam dan melalui keluarga.
Gereja terpanggil untuk bersama-sama mencari, menyapa, mendengarkan dan bersehati dengan keluarga yang sedang menghadapi tantangan, termasuk mereka yang tidak sanggup mempertahankan nilai-nilai hidup perkawinan dan keluarga. Di sinilah Gereja hadir untuk menampilkan wajah Allah yang murah hati dan berbelas kasih, terutama bagi keluarga yang berada dalam situasi sulit. Dalam kemurahan dan belas kasih Allah, keluarga-keluarga tidak akan mengalami kebuntuan dalam perjalanannya meraih kebahagiaan.
Kehadiran para suster MASF dan anggota Tarekat MSF memunculkan harapan bahwa Gereja sungguh-sungguh dalam mendampingi keluarga-keluarga. Kini Tim pendamping keluarga juga sudah mulai merata hadir di paroki-paroki. Kehadiran mereka diharapkan memberi rasa aman bagi keluarga-keluarga, dan terutama menjadi teman seperjalanan bagi yang bermasalah. Sebagai Gereja Rumah-Tangga, keluarga menjadi pusat iman, pewartaan iman, pembinaan kebajikan, dan kasih kristiani dengan mengikuti cara hidup Gereja Perdana (Kis 2: 41-47; 4: 32-37). Gereja Rumah-Tangga mengambil bagian dalam tiga fungsi imamat umum Yesus Kristus, yaitu guru untuk mengajar, imam untuk menguduskan, dan gembala untuk memimpin. Gereja Rumah-Tangga di Indonesia dibangun berdasarkan nilai-nilai kristiani yang diwujudkan dalam masyarakat yang majemuk.
Ketika keluarga kembali bisa menemukan sukacita Injil di dalamnya, disanalah panggilan akan bersemi dan bertunas. Keluargalah kunci panggilan. Keluarga utuh, masyarakat tangguh. Keluarga sehat, panggilan berlipat. 

0 komentar:

Posting Komentar