Selasa, 03 Mei 2016

Novena Misioner Malem Slasa Kliwon di Kerkor Rm. Sandjaja: Lembaga Hidup Bhakti dan Karya Pastoral Teritorial


Lembaga Hidup Bhakti 
dan Karya Pastoral Teritorial



Monsinyur Petrus Joannes Willekens, S.J.

Dalam pertemuan Novena Misioner Slasa Kliwon putaran yang ke 5, kita diajak bersyukur atas kehadiran para Romo diosesan dan lembaga-lembaga hidup bakti yang berkarya dalam reksa pastoral teritorial atau dalam wilayah Keuskupan Agung Semarang. Mereka adalah para imam diosesan (Praja) Keuskupan Agung Semarang dan Suster-Suster Abdi Dalem Sang Kristus (ADSK/AK). Sebetulnya pernah ada kongregasi Bruder-Bruder Rasul. Namun sekarang sudah tidak ada lagi. Para Romo Praja KAS, Suster-Suster Abdi Kristus, Bruder-Bruder Rasul, dan reksa pastoral teritorial sebetulnya disatukan oleh satu pribadi istimewa yang juga dimakamkan di Makam Kerkop Muntilan. Tokoh itu adalah Mgr Willekens. Sejenak marilah sedikit lebih dalam mengenal siapakah Mgr Willekens.

Asal usul Mgr. Willekens
Petrus Joannes Willekens dilahirkan tanggal 6 Desember 1881 di Reusel, Brabant Utara. Dia adalah putra walikota setempat, Tuan Adrianus Willekens dan Nyonya Willekens-Borrenbergen. Sebagaimana umumnya anak Brabant yang ingin menjadi guru atau imam, sejak kecil dia juga ingin menjadi imam. Akhirnya Willekens masuk novisiat Serikat Yesus, dan sampai pada tahbisannya pada 24 Agustus 1915, oleh Monsinyur Schrijnen di Masstricht.

Tahun 1927, dia diangkat sebagai Visitator Regularis Yesuit untuk misi di Jawa. Itulah perkenalan pertamanya dengan kegiatan misi. Ia mempunyai perhatian dalam banyak hal sehingga ia begitu mengenal wilayah misi meski hanya sebentar tinggal di Jawa (Januari-November 1928). Selama 9 bulan, ia mengunjungi rumah-rumah dan wilayah-wilayah kerja para Yesuit di Jawa. 

Dibenum untuk Menjabat Vikaris Apostolik Batavia
Perutusan sebagai Vikaris Apostolik Batavia dimulai tanggal 23 Juli 1934. Dia dibenum oleh Paus Pius XI untuk menggantikan tugas Mgr. A.P.F. van Velsen, S.J. yang mengundurkan diri dari jabatan Vikaris Apostolik pada April 1933 karena alasan kesehatan.
Tanggal 22 Agustus 1934, Pater Willekens berangkat dari Den Haag menuju Mariendaal dan bertemu dengan rekan sesama misionaris ke Hindia Belanda, yaitu Pater P. Teppema, S.J. dan 5 frater novis Yesuit yang lain. Tanggal 24 Agustus 1934, mereka berangkat menuju Genoa dalam kapal Christiaan Huygens yang akan melanjutkan perjalanannya ke pelabuhan Tandjong Priok, Batavia. Tanggal 13 September 1934, sekitar jam 08.00 pagi, kapal Christiaan Huygens memasuki dermaga pelabuhan Tandjong Priok di Batavia dan disambut oleh para imam dan perwakilan umat Katolik. Tanggal 19 September 1934, Pater Willekens telah berada di Girisonta untuk membuka Konferensi Uskup seluruh Hindia Belanda.
Tanggal 3 Oktober 1934, Pater Willekens menerima tahbisan uskup dari tangan Monsinyur Bertz Inze, Vikaris Apostolik Manado di Gereja Katedral Batavia dengan gelar Uskup Tituler dari Zorava. Motto tahbisan Uskup yang dipilih dalam jabatannya adalah “Scio Cui Credidi”. Kata-kata ini diambil dari kata-kata Rasul Paulus kepada Timoteus, “... karena aku tahu kepada siapa aku percaya...” (2 Tim 1: 12). Gagasan ini menjadi butir permenungan yang dituangkan dalam lambang uskup yang dimiliki oleh Monsinyur Willekens. Simbol yang digunakan adalah perisai. Di ruang berwarna biru, agak di bawah, terdapat gambar bulir-bulir keemasan yang juga terdapat pada simbol kota kelahiran Monsinyur Willekens. Di atas gambar bulir padi keemasan itu, terdapat simbol khas Serikat Yesus “IHS” dalam warna keemasan. Yesus yang dilingkari dengan rangkaian bintang menjadi tujuan. Ia adalah sumber segala kepercayaan. Siapa yang percaya kepadaNya dapat mengharapkan bahwa segala karya yang dilakukan bersamaNya akan membawa buah-buah abadi seperti yang ditunjukkan oleh bulir-bulir padi berwarna keemasan.

Kebijakan-Kebijakan Mgr Willekens
Sejak awal masa pelayanannya, Monsinyur Willekens telah mempunyai perhatian kepada pembangunan kehidupan beriman umat. Salah satu perwujudannya adalah penyediaan tenaga pelayan rohani pribumi melalui pendirian Seminari Tinggi Santo Paulus; pendirian Kongregasi Suster Abdi Dalem Sang Kristus; dan pengesahan Konggregasi Bruder Apostolik (Bruder Rasul). Selain itu, dia juga mengusahakan berkembangnya kehidupan iman umat dengan mendirikan tempat-tempat ibadah, sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit. Di samping itu, beliau juga mempunyai perhatian besar terhadap pers. Baginya, pers adalah sarana untuk mewartakan iman kepada banyak orang. Perhatian beliau terhadap pers diwujudkan dengan diterbitkannya dwimingguan “Penabur” untuk masalah kemasyarakatan pada tahun 1946 dan mingguan “De Katholieke Week” (yang sekarang dikenal dengan Majalah HIDUP) untuk masalah kekatolikan pada tahun 1947.
Tugas penggembalaan Monsinyur Willekens mengalami tantangan berat pada masa pendudukan Jepang di Indonesia antara tahun 1942-1945. Jepang mempunyai tujuan perang untuk menghilangkan pengaruh Eropa di Asia dan menjadikan kawasan Asia Selatan sebagai suatu persemakmuran yang dikuasai oleh Jepang. Tahun 1943, semua imam Eropa di Vikariat Batavia diinternir. Namun, Monsinyur Willekens sebagai Vikaris Apostolik Jakarta dan Pater C. Doumen, S.J. yang menjadi sekretarisnya tidak ikut diinternir berkat hubungan diplomatik antara Vatikan dan Jepang. Bersama dengan Monsinyur Soegijapranata (Vikaris Apostolik Semarang), Monsinyur Willekens berjuang terus untuk memelihara kehidupan iman umat. Bahkan kepada Soegijapranata, dia mengirimkan nota yang salah satu isinya mendesak untuk memberi prioritas dan mempertahankan pendidikan imam. 


Pensiun dari Jabatan Vikaris Apostolik
Tahun 1952, Monsinyur Willekens merasa bahwa kondisi kesehatannya semakin menurun dan usianya semakin lanjut. Berdasarkan dua alasan itu, dia mengajukan permohonan kepada Tahta Suci Vatikan agar dibebaskan dari tugas jabatan uskup dan Vatikan pun mengabulkan permohonan itu. Tanggal 23 Mei 1952, Monsinyur Willekens meletakkan jabatan Vikaris Apostolik.
Memasuki masa pensiun, Monsinyur Willekens memilih tugas yang sejak dulu menjadi kesukaannya, yaitu mengasuh para calon imam. Dia mengasuh para calon imam Yesuit di Novisiat Girisonta, Ungaran antara tahun 1953-1963. Tahun 1963, dia berpindah ke Jogjakarta dan bertugas sebagai pembimbing rohani para calon iman yang belajar teologi di Kolese Santo Ignatius, Kotabaru, Yogyakarta. Tugas itu dilaksanakannya sampai meninggal dunia pada hari Rabu, 27 Januari 1971, sekitar jam 07.30 di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Monsinyur Willekens meninggal dunia dalam usia 89 tahun, setelah 55 tahun ditahbiskan menjadi imam dan 36 tahun menjadi uskup.
Pada hari Kamis, 28 Januari 1971 jenazah Mgr Willekens dikebumikan di Kerkop Muntilan, di antara tokoh-tokoh pelopor misi Jawa Tengah, seperti Pater van Lith, S.J. dan Pater Merten       s, S.J.
Monsinyur Petrus Joannes Willekens, S.J. telah berpulang, tetapi jasanya mengakarkan iman Katolik di bumi Nusantara tetap teringat. Perhatiannya pada perkembangan benih-benih panggilan dari nusantara ini berbuah menjadi nyata dalam wujud kehadiran imam, suster, bruder pribumi yang menunjukkan kemandirian Gereja lokal.

0 komentar:

Posting Komentar