Lembaga Hidup Bhakti
dan Karya Pastoral Teritorial
Monsinyur
Petrus Joannes Willekens, S.J.
Dalam pertemuan Novena Misioner Slasa Kliwon
putaran yang ke 5, kita diajak bersyukur atas kehadiran para Romo diosesan dan
lembaga-lembaga hidup bakti yang berkarya dalam reksa pastoral teritorial atau
dalam wilayah Keuskupan Agung Semarang. Mereka adalah para imam diosesan
(Praja) Keuskupan Agung Semarang dan Suster-Suster Abdi Dalem Sang Kristus
(ADSK/AK). Sebetulnya pernah ada kongregasi Bruder-Bruder Rasul. Namun sekarang
sudah tidak ada lagi. Para Romo Praja KAS, Suster-Suster Abdi Kristus,
Bruder-Bruder Rasul, dan reksa pastoral teritorial sebetulnya disatukan oleh
satu pribadi istimewa yang juga dimakamkan di Makam Kerkop Muntilan. Tokoh itu
adalah Mgr Willekens. Sejenak marilah sedikit lebih dalam mengenal siapakah Mgr
Willekens.
Petrus Joannes Willekens dilahirkan tanggal
6 Desember 1881 di Reusel, Brabant Utara. Dia adalah putra walikota setempat,
Tuan Adrianus Willekens dan Nyonya Willekens-Borrenbergen. Sebagaimana umumnya
anak Brabant yang ingin menjadi guru atau imam, sejak kecil dia juga ingin
menjadi imam. Akhirnya Willekens masuk novisiat Serikat Yesus, dan sampai pada
tahbisannya pada 24 Agustus 1915, oleh Monsinyur Schrijnen di Masstricht.
Tahun 1927, dia diangkat sebagai Visitator
Regularis Yesuit untuk misi di Jawa. Itulah perkenalan pertamanya dengan
kegiatan misi. Ia mempunyai perhatian dalam banyak hal sehingga ia begitu
mengenal wilayah misi meski hanya sebentar tinggal di Jawa (Januari-November
1928). Selama 9 bulan, ia mengunjungi rumah-rumah dan wilayah-wilayah kerja
para Yesuit di Jawa.
Dibenum untuk Menjabat Vikaris Apostolik
Batavia
Perutusan
sebagai Vikaris Apostolik Batavia dimulai tanggal 23 Juli 1934. Dia dibenum
oleh Paus Pius XI untuk menggantikan tugas Mgr. A.P.F. van Velsen, S.J. yang
mengundurkan diri dari jabatan Vikaris Apostolik pada April 1933 karena alasan
kesehatan.
Tanggal 22
Agustus 1934, Pater Willekens berangkat dari Den Haag menuju Mariendaal dan
bertemu dengan rekan sesama misionaris ke Hindia Belanda, yaitu Pater P.
Teppema, S.J. dan 5 frater novis Yesuit yang lain. Tanggal 24 Agustus 1934,
mereka berangkat menuju Genoa dalam kapal Christiaan
Huygens yang
akan melanjutkan perjalanannya ke pelabuhan Tandjong Priok, Batavia. Tanggal 13
September 1934, sekitar jam 08.00 pagi, kapal Christiaan Huygens memasuki
dermaga pelabuhan Tandjong Priok di Batavia dan disambut oleh para imam dan
perwakilan umat Katolik. Tanggal 19 September 1934, Pater Willekens telah
berada di Girisonta untuk membuka Konferensi Uskup seluruh Hindia Belanda.
Tanggal 3
Oktober 1934, Pater Willekens menerima tahbisan uskup dari tangan Monsinyur
Bertz Inze, Vikaris Apostolik Manado di Gereja Katedral Batavia dengan gelar
Uskup Tituler dari Zorava. Motto tahbisan Uskup yang dipilih dalam jabatannya
adalah “Scio Cui Credidi”. Kata-kata ini diambil dari kata-kata
Rasul Paulus kepada Timoteus, “... karena aku tahu kepada siapa aku
percaya...” (2 Tim 1: 12). Gagasan ini menjadi butir permenungan yang
dituangkan dalam lambang uskup yang dimiliki oleh Monsinyur Willekens. Simbol
yang digunakan adalah perisai. Di ruang berwarna biru, agak di bawah, terdapat
gambar bulir-bulir keemasan yang juga terdapat pada simbol kota kelahiran
Monsinyur Willekens. Di atas gambar bulir padi keemasan itu, terdapat simbol
khas Serikat Yesus “IHS” dalam warna keemasan. Yesus yang dilingkari dengan
rangkaian bintang menjadi tujuan. Ia adalah sumber segala kepercayaan. Siapa
yang percaya kepadaNya dapat mengharapkan bahwa segala karya yang dilakukan bersamaNya
akan membawa buah-buah abadi seperti yang ditunjukkan oleh bulir-bulir padi
berwarna keemasan.
Kebijakan-Kebijakan
Mgr Willekens
Sejak awal masa pelayanannya, Monsinyur Willekens
telah mempunyai perhatian kepada pembangunan kehidupan beriman umat. Salah satu
perwujudannya adalah penyediaan tenaga pelayan rohani pribumi melalui pendirian
Seminari Tinggi Santo Paulus; pendirian Kongregasi Suster Abdi Dalem Sang
Kristus; dan pengesahan Konggregasi Bruder Apostolik (Bruder Rasul). Selain
itu, dia juga mengusahakan berkembangnya kehidupan iman umat dengan mendirikan
tempat-tempat ibadah, sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit. Di samping
itu, beliau juga mempunyai perhatian besar terhadap pers. Baginya, pers adalah
sarana untuk mewartakan iman kepada banyak orang. Perhatian beliau terhadap
pers diwujudkan dengan diterbitkannya dwimingguan “Penabur” untuk masalah
kemasyarakatan pada tahun 1946 dan mingguan “De Katholieke Week” (yang sekarang
dikenal dengan Majalah HIDUP) untuk masalah kekatolikan pada tahun
1947.
Tugas
penggembalaan Monsinyur Willekens mengalami tantangan berat pada masa
pendudukan Jepang di Indonesia antara tahun 1942-1945. Jepang mempunyai tujuan
perang untuk menghilangkan pengaruh Eropa di Asia dan menjadikan kawasan Asia
Selatan sebagai suatu persemakmuran yang dikuasai oleh Jepang. Tahun 1943,
semua imam Eropa di Vikariat Batavia diinternir. Namun, Monsinyur Willekens
sebagai Vikaris Apostolik Jakarta dan Pater C. Doumen, S.J. yang menjadi
sekretarisnya tidak ikut diinternir berkat hubungan diplomatik antara Vatikan
dan Jepang. Bersama dengan Monsinyur Soegijapranata (Vikaris Apostolik
Semarang), Monsinyur Willekens berjuang terus untuk memelihara kehidupan iman
umat. Bahkan kepada Soegijapranata, dia mengirimkan nota yang salah satu isinya
mendesak untuk memberi prioritas dan mempertahankan pendidikan imam.
Pensiun dari Jabatan Vikaris Apostolik
Tahun 1952,
Monsinyur Willekens merasa bahwa kondisi kesehatannya semakin menurun dan
usianya semakin lanjut. Berdasarkan dua alasan itu, dia mengajukan permohonan
kepada Tahta Suci Vatikan agar dibebaskan dari tugas jabatan uskup dan Vatikan
pun mengabulkan permohonan itu. Tanggal 23 Mei 1952, Monsinyur Willekens
meletakkan jabatan Vikaris Apostolik.
Memasuki masa
pensiun, Monsinyur Willekens memilih tugas yang sejak dulu menjadi kesukaannya,
yaitu mengasuh para calon imam. Dia mengasuh para calon imam Yesuit di Novisiat
Girisonta, Ungaran antara tahun 1953-1963. Tahun 1963, dia berpindah ke
Jogjakarta dan bertugas sebagai pembimbing rohani para calon iman yang belajar
teologi di Kolese Santo Ignatius, Kotabaru, Yogyakarta. Tugas itu
dilaksanakannya sampai meninggal dunia pada hari Rabu, 27 Januari 1971, sekitar
jam 07.30 di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Monsinyur Willekens meninggal
dunia dalam usia 89 tahun, setelah 55 tahun ditahbiskan menjadi imam dan 36
tahun menjadi uskup.
Pada hari Kamis,
28 Januari 1971 jenazah Mgr Willekens dikebumikan di Kerkop Muntilan, di antara
tokoh-tokoh pelopor misi Jawa Tengah, seperti Pater van Lith, S.J. dan Pater
Merten s, S.J.
Monsinyur Petrus
Joannes Willekens, S.J. telah berpulang, tetapi jasanya mengakarkan iman
Katolik di bumi Nusantara tetap teringat. Perhatiannya pada perkembangan
benih-benih panggilan dari nusantara ini berbuah menjadi nyata dalam wujud
kehadiran imam, suster, bruder pribumi yang menunjukkan kemandirian Gereja
lokal.
0 komentar:
Posting Komentar