Refleksi Karya Pendidikan di
Muntilan
Karya pendidikan di
Muntilan tak bisa dilepaskan dari sosok Pastor van Lith. Apakah berguna
merefleksikan pendidikan di Muntilan dengan mengenali pergulatan van Lith jauh
ke belakang sebelum ia dikenal sebagai tokoh besar dan penting karya pendidikan
di Muntilan?
Pendidikan sebagai peziarahan jiwa
Ketika menjalani
masa studi teologi van Lith pernah menulis (dari buku Van Lith Pembuka Pendidi
Guru di Jawa, oleh Fl. Hasto Rosariyanto, SJ – 2009):
“Ketika saya di
Maastricht, di ruang makan seringkali dibacakan surat-surat dari missi
Hindia-Belanda dan juga pembukaan missi Jawa. Saya tidak pernah memberi banyak
perhatian karena pikiran saya lebih fokus pada studi. Saya juga tahu bahwa
beberapa missionaris akan dipilih dari kami, termasuk saya.
Waktu itu saya
memiliki banyak cita-cita. Saya ingin bekerja untuk pertobatan Inggris. Saya
juga ingin memulai karya di antara orang-orang Protestan di Belanda. Untuk
tanah missi, pilihan saya adalah Jepang. Saya juga mempunyai minat yang besar
di bidang filsafat atau teologi.
Missi
Hindia-Belanda tidak memiliki masa depan. Saya yakin bahwa tenaga saya tidak
ada gunanya di sana. Tidak ada sesuatupun yang bisa saya lakukan di sana
kecuali mempersembahkan ketaatanku.”
Di masa tersiatnya
(1895-1896), Pater van Lith sekali lagi harus mempertimbangkan pertanyaan yang
sama: kemungkinan bekerja di tanah missi Indonesia. Posisinya tetap: ia siap
dikirim kemanapun juga, tetapi lebih suka berkarya di Eropa. Bedanya,
keinginannya untuk memenuhi kehendak Allah berada di tempat pertama, dan bukan
keinginannya sendiri. Perubahan disposisi ini tertuang dalam suratnya kepada
Pater Provinsial:
“Aku tidak memiliki
keinginan lain daripada melulu memenuhi kehendak Allah. Aku percaya bahwa Bapa
yang baik yang juga sedang membimbing pena di jari-jariku ini akan memberiku
kekuatan untuk melaksanakan kehendak-Nya yang kudus entah apapun itu. Hatiku
sungguh takut akan persembahan ini, tetapi aku juga tidak akan merasa bahagia
bila aku menulis sesuatu yang lain dan karena itu aku pasti bahwa Allah akan
menolongku. Aku berusaha untuk melibatkan diri seminimal mungkin dalam soal
ini.”
Bagian lain dari
suratnya van Lith menulis:
“Aku tidak memiliki
panggilan khusus untuk missi. Akan tetapi kalau aku harus memilih antara dua
tugas yang memperluas kemuliaan Allah, satu di Hindia-Belanda dan satu lagi di
Belanda, lalu aku akan memilih pergi ke Hindia-Belanda karena itu merupakan
persembahan yang lebih besar.
Seandainya aku
sungguh-sungguh bebas secara penuh dalam pilihanku, lalu aku tidak akan pergi
ke Hindia-Belanda karena aku yakin bahwa di Eropa aku dapat menemukan suatu
tugas yang akan lebih membawa kemuliaan Tuhan.
Dalam serikat aku
harus memilih antara Hindia-Belanda dan Belanda tanpa sedikitpun petunjuk akan
suatu tugas yang pasti. Makanya aku juga tidak tahu apa yang harus aku pilih.
Puji Tuhan bahwa
aku sendiri tidak harus memilih. Tugas yang paling tidak berarti disediakan
Anak Allah untukku adalah lebih besar daripada tugas paling besar kalau aku
sendiri dapat memilihnya.”
Akhirnya Pater van
Lith diutus ke tanah Missi di Jawa. Tulisan-tulisan van Lith di atas
menggambarkan lintasan pergulatan van Lith sebelum akhirnya ia diutus ke tanah
missi Hindia-Belanda. Itulah perjalanan perutusan van Lith di Hindia-Belanda atau
di tanah Jawa, termasuk akhirnya perutusan di Muntilan.
Rama van Lith, SJ
Kita pahami
bersama, perutusan ke Hindia-Belanda bagi van Lith bukanlah perutusan yang
dikehendaki oleh kemanusiaan van Lith. Bila akhirnya van Lith diutus ke
Hindia-Belanda itu akhirnya merupakan proses iman, khususnya terkait
ketaatannya kepada serikat yang mesti diterjemahkan sebagai pembaktian diri
serta hidupnya kepada Allah, demi Allah yang semakin dimuliakan.
Ada aspek spiritual
di awal perutusan van Lith ke tanah missi. Bahkan pergulatan awal perutusan van
Lith ke tanah missi Hindia-Belanda menjadi bagian penting dari peziarahan
hidupnya. Itu artinya, ada peziarahan jiwa yang menyertai perutusan van Lith di
tanah missi Hindia-Belanda. Kalau akhirnya van Lith menjalani perutusan di
Muntilan, khususnya dengan kerasulan pendidikan, maka itupun bagian dari
peziarahan spiritual van Lith. Ada peziarahan jiwa demi kemuliaan Allah yang
menyertai karya pendidikan yang dikelola van Lith di Muntilan.
Barangkali ini
salah satu hal penting, bahkan mungkin hakiki lagi unik, dalam karya pendidikan
Katolik yang dimulai oleh van Lith. Pengelolaan pendidikan Katolik, merujuk
pada peziarahan jiwa van Lith, mestinya diawali, dilumuri, dan diorientasikan
peziarahan jiwa demi memuliakan Allah. Barangkali inilah yang telah dan mesti
menjadi sumbangan unik dan khas pendidikan Katolik.
Berawal dari perjumpaan
Kalau akhirnya van
Lith sampai di Muntilan, ada kisah panjang yang menyertainya. Salah satu
peristiwa yang membuat van Lith akhirnya menentukan sikap menyetiai karya
pendidikan adalah perjumpaannya dengan perilaku para katekis yang tidak jujur.
Peran para katekis yang sempat dibanggakan ternyata dalam pandangan van Lith
justru membahayakan keberlangsungan iman umat. Para katekis bekerja dengan
kebohongan demi menyenangkan para Pastor dan akhirnya mereka mendapat uang dari
kerja bohongnya.
Atas realitas itu
van Lith berkukuh bahwa pendidikan memang cara yang terbaik untuk membangun
gereja yang kokoh. Sikap kukuh van Lith itu berawal dari perjumpaannya dengan
kebohongan yang melukai kehidupan dan membahayakan keberlangsungan hidup
gereja. Reaksi terhadap realitas hingga mengalami keterlukaan dan membangkitkan
energi untuk membuat nasib lainyang lebih baik agaknya pantas direnungkan dalam
rangka merawat karya pendidikan. Bukankah pendidikan adalah ikhtiar merawat
kehidupan?
Keterlukaan yang
diikuti bangkitnya energi untuk mengubah hidup rasanya dipengaruhi oleh visi
dan misi seseorang. Dalam konteks van Lith tentu ini sangat dipengaruhi oleh
bagaimana ia memandang dan menjalani hidupnya. Dari pergulatannya kita dapat
memahami bahwa van Lith membaktikan hidupnya demi kemuliaan Allah yang lebih
besar.
Belajar dari van
Lith, maka agaknya mengelola pendidikan Katolik hari-hari ini (dan seterusnya)
perlu dilumuri niatan (motivasi?) demi kemuliaan Allah yang lebih besar. Niatan
ini menjadi harga mati. Sementara caranya tentu bisa lebih lentur menyesuaikan
konteks.
Maka pertanyaan
refleksi yang bisa diajukan adalah: Seberapa baik kepekaan kita untuk terlukai
oleh realitas yang menuntut sikap atas realitas pendidikan kita? Apakah
motivasi terdalam kita dalam mengelola pendidikan? Demi kemuliaan Allah yang
lebih besar? Demi kepentignan pribadi? Demi menyelamatkan institusi? Demi
melindungi diri-institusi-kelompok dari ancaman pihak/orang lain?
Kematangan van Lith
Pada buku
“Soal pokok adalah
bahwa dimanapun seoang missionaris ditugaskan, sesudah satu tahun, ia
diharapkan telah melakukan banyak baptisan. Yah, saya dapat mengerti. Tetapi
untuk missi Jawa, membaptis sejumlah besar orang yang tidak sungguh-sungguh
bertobat hanyalah sebuah petualangan.
Membaptis banyak
orang itu dapat diprogramkan. Cukuplah masuk ke suatu wilayah dari beberapa
desa yang ingin menjadi Kristen dan kemudian semangat Kristiani ditanamkan
pelan-pelan. Meskipun demikian, semangat Kristiani lahir hanya dengan kesabaran
dan dalam hitungan tahun.”
Dari tulisan itu
tampak bahwa van Lith mengenal dengan baik siapakah orang Jawa itu. Pengenalan
yang baik itu membantunya untuk lebih tajam menentukan aksinya. Van Lith juga
dibantu untuk memikirkan program pembinaan yang mendasar hingga sungguh-sungguh
dapat membantu orang yang dilayani mengalami transformasi mendasar, meskipun
untuk hal ini prosesnya amat perlahan.
Dari van Lith kita
belajar perlunya mengenal orang-orang yang akan dan sedang didampingi dalam
pendidikan kita. Pengenalan yang baik dan komprehensif agaknya akan sangat
membantu menentukan cara dan dinamika pendidikan yang paling cocok dan
memberdayakan. Dalam konteks zaman ini kita perlu mengenal filosopi hidup orang
muda zaman ini, kebiasaan dan spontanitasnya, kesukaan, orientasi, juga
termasuk kecenderungan keluarga mendidik serta memerlakukan anak-anaknya. Dalam
begitu banyak kesulitan dan tuntutan, upaya memberi pengalaman pendampingan
yang sifatnya personal/pribadi rasanya akan memberi makna yang mendalam bagi
anak didik. Prinsip pendidikan yang diabdikan untuk anak didik perlu
diaktualkan dalam konteks kekinian.
Masih dari buku Van
Lith Pembuka Pendidi Guru di Jawa (129), kita bisa menemukan komitmen
pengabdian van Lith. Van Lith ingin mengabdikan hidup dan karya bagi orang
Jawa. Komitmen ini yang membantu van Lith untuk tak lelah belajar apa saja
tentang orang Jawa. Maka ia menulis:
“Tentang buku
katekismus saya ingin mengubah banyak hal karena situasinya sudah berubah sama
sekali. Diperlukan rumusan-rumusan yang jelas dan cocok karena yang ada diambil
dari lingkungan Eropa. Tentang doa saya ingin bahwa yang dipakai adalah yang
sesuai dengan pikiran dan perasaan orang Jawa.”
Dari tulisan itu
juga, selain komitmen van Lith untuk mengabdikan hidup dan karya bagi orang
Jawa, kita juga belajar bahwa dalam pendidikan itu apa-apa yang baik di suatu
tempat tak serta-merta baik bila dipindahkan begitu saja ke tempat lain.
Memindahkan begitu saja gagasan baik ke tempat lain tanpa mempertimbangkan
konteks budaya dan ragam nilai hanya membuat perubahan yang superfisial.
Kita juga belajar
pendidikan adalah menggunakan apa-apa yang sudah ada untuk dimanfaatkan
menjadikan kehidupan lebih baik dan bermartabat. Dalam merumuskan Doa Bapa
Kami, van Lith perlu mempelajari kekayaan budaya spiritual Jawa. Itu semacam
mengenal gugus psiko-kultural-spiritual Jawa, lalu memanfaatkannya untuk
memahami misteri iman Katolik. Kalau demikian, pendidikan itu mencungkil ragam
kekayaan hidup yang telah ada dan dihidupi lagi dalam
cara-kesadaran-orientasi-nilai baru yang lebih bermartabat. Pendidikan dan
pendidik niscaya memperlakukan peserta didik sebagai yang bermartabat. Pada
bagian ini, pendidikan bisa dihayati sebagai laku untuk mengelola egoisme diri
(termasuk di dalamnya hal-hal yang dianggap lebih bernilai/bermartabat pada
diri pendidik), lalu terbuka pada keunikan liyan (khususnya anak didik), dan
merumuskan bahasa-nilai-keutamaan bersama. Pendidikan tak hanya diorientasikan
untuk mengubah-memberdayakan anak didik. Pendidikan juga (bahkan mungkin yang
pertama dan utama) diorientasikan untuk mengubah dan memberdayakan diri
pendidik sendiri.
Pada pemahaman itu
pendidikan adalah lintasan untuk serentak membebaskan dan memberdayakan diri.
Rasanya dinamika ini amat kristiani. Kalau ini terjadi dalam sekolah-sekolah
Katolik, pastilah sekolah Katolik akan dikenal dengan auranya yang khas. Lalu
sekolah Katolik dapat memberi sumbangan yang khas, unik, dan penting bagi
kehidupan ini.
Tumbuh dalam konteks
Van Lith menulis
(Van Lith Pembuka Pendidi Guru di Jawa, 152-153):
“Kalau kita, orang
Belanda, ingin tetap tinggal di Jawa dan hidup dalam damai dan menikmati
keindahan serta kekayaan pulau tercinta ini, maka ada suatu tuntutan, yaitu
bahwa kita harus selalu belajar memperlakukan orang jawa sebagai saudara kita.
Di tengah-tengah
orang Jawa kita tidak bisa berlagak seperti penguasa, atau sebagai majikan,
atau sebagai komandan, tetapi seharusnya sebagai sesama warga.
Kita harus belajar
menyesuaikan diri, belajar menguasai bahasa orang-orang ini dan adat kebiasaan
mereka; hanya dengan berlaku demikian kita bisa menjalin persahabatan dengan
mereka ini.”
Pada bulan Juli
1902, atas permintaan Superior Missi, Pater van Lith merumuskan “Program dan
metode Missi-Jawa”. Dalam programnya sepanjang duapuluh halaman itu ia
menguraikan ide-idenya dan posisinya terhadap perlbagai permasalahan dan isu
yang berkaitan dengan Gereja Katolik dalam hubungannya dengan orang Jawa.
Berkaitan dengan pendidikan pribumi di Muntilan, ia merumuskan gagasannya
demikian:
“Untuk mencapai
sebuah sekolah yang solid untuk anak laki-laki, kita wajib memiliki sekolah
berasrama yang akan menampung sebanyak mungkin anak-anak dari para punggawa
desa. Mereka mengurus sendiri pakaian mereka, sedangkan kita hanya menyediakan
makanan ...
Pendidikan yang
akan kita berikan kepada mereka ini haruslah solid dan berwawasan luas. Untuk
meraih cita-cita yang ambisius ini tidak ada cara lain kecuali merancang sebuah
kolese kecil: seorang imam sebagai kepala sekolah, dua skolastik, dan beberapa
guru pribumi. Di samping mengajar, mereka ini harus terlibat total pada acara
keseharian anak-anak, sehingga dalam jangka panjang semangat dan hati anak-anak
ini akan diwarnai dengan spirit dan jiwa Kristiani. Semangat Kristiani tadi
harus terlebih dahulu telah membakar hati dan jiwa para pengajar.”
Dari tulisan van
Lith itu terasa sekali bahwa van Lith mengorientasikan pendidikan untuk orang
Jawa (baca: orang-orang yang dilayaninya). Belajar budaya, bahasa, kebiasaan,
kearifan Jawa bukan untuk menguasai dan efektif menjejalkan program diri,
tetapi untuk sungguh bisa membantu. Ada sikap pengabdian yang tulus. Inilah
keutamaan yang pantas dirawat, diwariskan, diajarkan kepada siapapun yang
terlibat dalam karya pendidikan.
Pendidikan yang
dibayangkan van Lith adalah pendidikan yang berdinamikan, tumbuh, berkembang
dalam konteks orang-orang yang dilayani. Maka kolese dengan asrama yang digagas
van Lith pun adalah asrama-kolese yang menyatu dengan kehidupan masyarakat yang
dilayani. Van Lith tak hendak mencabut peserta didik dari akarnya dan mengganti
paksa baju budaya-tradisi-nilai hidupnya. Demi itulah ia menggagas agar para
pendamping tinggal bersama anak didik dan tetap memberi kesempatan kepada
anak-anak didik untuk melakukan hal-hal yang telah menjadi kebiasaannya.
Tapi ada satu
syarat yang diandaikan untuk model pendidikan yang digagas van Lith, yaitu para
pendidik sendiri telah menghidupi nilai-nilai yang hendak diajarkan. Maka
perubahan dan internalisasi nilai yang pertama dan utama adalah terjadi pada
para pendidiknya. Pendidik haruslah sosok yang telah mengalami transformasi
hidup, sebelum akhirnya ia menjadi sahabat anak didik dalam menransformasikan
hidupnya.
Apakah dalam
gagasan ini pengalaman (bahkan mungkin pergulatan) pendidik dalam transformasi
hidup amat membantu dalam proses pendampingan anak didik yang juga berjuang
untuk menransformasikan dirinya? Sebaliknya, adakah pendidik yang tak pernah
bahkan tak mampu menransformasikan hidupnya sesungguhnya tak layak menjadi
pendidik yang mesti membantu proses transformasi hidup anak didiknya?
Pertanyaan-pertanyaan ini tentu amat relevan ketika pendidikan dipandang
sebagai proses transformasi hidup, bukan arena mencetak rapor-ijazah.
Lebih jauh, bila
kita memandang lembaga pendidikan Katolik awal (embrio pendidikan Katolik
Indonesia) dikelola van Lith dengan cara demikian, tidakkah sesungguhnya ini
menjadi semacam cetakan, bahkan takdir pendidikan Katolik Indonesia, yaitu
pendidikan Katolik bercirikan pendidikan yang menciptakan insan yang terampil
menransformasi hidupnya? Maka kita pantas merenungkan apa yang telah terjadi
dalam pengelolaan pendidikan kita bila lembaga pendidikan Katolik menghasilkan
lulusan yang pintar dan merebut prestasi ragam kejuaraan namun miskin dalam
transformasi diri, yang akhirnya juga tak punya insting/gairah/panggilan jiwa
untuk membuat transformasi kehidupan bersama.
Dalam proses
selanjutnya, ketika para Bruder FIC ikut mengelola sekolah-sekolah di Muntilan,
para bruderpun tidak menciptakan asrama-asrama seperti yang pernah mereka
kelola di Belanda. Asrama diselenggarakan dengan model konvik. Pada setiap
konvik itu anak-anak tinggal bersama sebuah keluarga lengkap. Maka praktis
sesungguhnya anak-anak asrama tetap tinggal bersama dan dalam keluarga. Ini
sebuah upaya untuk tetap merawat nilai-nilai hidup dalam keluarga. Ini khas
pendidikan karakter Jawa: tumbuh berkembang dalam keluarga.
Apa yang
ditampilkan anak-anak asrama SMA Van Lith menggambarkan dengan baik betapa di
zaman ini yang telah dibentuk kebiasaan-karakter-spontanitasnya dalam keluarga
harus berjuang untuk mengadopsi nilai-kebiasaan-karakter lain. Peran keluarga
amat besar dalam proses transformasi itu. Betapa beragamnya konteks anak didik
kita saat ini.
Di awal
pertemuan tirakatan Selasa Kliwon (9 Februari 2015) itu ditampilkan
drama yang dimainkan oleh siswa-siswa SMA van Lith. Mereka menampilkan
pengalaman dan perjuangan dalam menjalani pendidikan berasrama di SMA van Lith.
Drama
siswa-siswi van Lith menggambarkan proses pembelajaran yang mereka alami.
Kehidupan di asrama van Lith agaknya cukup berbeda dengan kehidupan kaum muda
kebanyakan zaman ini. Dibatasinya penggunaan sarana komunikasi elektronik,
menonton TV, juga terbatasnya fasilitas-fasilitas hidup dirasa bisa menjadi
alasan untuk mengalami pendidikan di SMA van Lith dengan tidak menyenangkan.
Yang dimaksud dengan fasilitas terbatas adalah tiadanya fasilitas yang sungguh
personal, dalam artian setiap anak memilik satu fasilitas pribadi ang hanya
diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Contoh yang ditampilkan dalam drama itu
adalah adegan ketika mereka harus antre untuk mandi atau ke WC, juga antre
untuk mencuci atau menyetrika pakaian.
Adegan-adegan
drama siswa-siswi SMA van Lith seperti menggambarkan kontras kehidupan yang
jamak dengan dinamika pembelajaran yang terselenggara oleh sebuah lembaga
pendidikan. Pada adegan itu kita seperti diajak merenung, apakah pendidikan
terkadang menawarkan hingga memperjuangkan nilai-nilai dan atau
keutamaan-keutamaan hidup yang kontras dengan nilai dan keutamaan hidup yang
jamak pada konteksnya?
Salah Satu adegan penampilan drama SMA van Lith
Novena Misioner Malem Slasa Kliwon
Kontras nilai
dan keutamaan yang dihidupi masyarakat kebanyakan dengan nilai dan keutamaan
yang dirawat-ajarkan lembaga pendidikan ditandakan pada adegan mencemooh
kondisi serta dinamika hidup di asrama. Diperagakan kehidupan di asrama adalah
kehidupan yang “mengenaskan” bagi orang muda di zaman ini. Tak selalu memegang handphone, berpisah dengan orang tua,
mencuci pakaian sendiri, berbagi makanan, terbatasnya kesempatan nonton TV,
terbatasnya kesempatan mengakses internet, adalah gambaran dinamika
penyelenggaraan pendidikan berasrama yang “mengenaskan” dan kontras bagi
generasi zaman ini.
Atas cemoohan
itu, ditampilkan adegan “kesaksian” dan pembelaan dari pelaku pendidikan
berasrama. Kesaksian dan pembelaan dari siswa-siswi itu seperti menegaskan
bahwa pendidikan memang perlu kukuh pada upaya merawat dan memperjuangkan nilai
serta prinsip kehidupan. Sikap “tanpa kompromi” lembaga pendidikan diabdikan
demi perubahan hidup yang berujung pada merawat dan menginternalisasikan nilai
dan keutamaan hidup. Pada adegan ini bisa dinikmati sebagai jalan kenabian yang
dipilih dan disetiai oleh para pelaku pendidikan. pada saat yang sama, adegan
itu seperti menuturkan bahwa pendidik perlu teguh dalam upaya
menginternalisasikan nilai serta keutamaan hidup.
Keteguhan
pendidik dalam merawat dan mengupayakan internalisasi nilai serta keutamaan
hidup seringkali diuji dengan pengalaman peserta didik yang kepayahan.
Sesungguhnya, kepayahan peserta didik bisa dipahami karena mereka berjuang
melepas kebiasaan, cara hidup, nilai yang telah dimiliki; dan berjuang untuk
mengadopsi serta menginternalisasi kebiasaan, cara hidup, nilai yang baru. Pada
kesadaran ini, keteguhan pendidik sesungguhnya adalah pilihan untuk membantu
peserta didik membangun cara hidup yang baru. Keteguhan para mendidik membantu
proses metamorphosis kehidupan anak didiknya.
Cemoohan tentu
tak terelakkan karena keteguhan sikap pendidik. Bentuknya bisa dalam kritik
bahkan protes orang tua, meski sesungguhnya orang tua sudah sadar bahwa
dinamika hidup di asrama jauh berbeda dengan kehidupan kebanyakan dalam
keluarga dan masyarakat. Cemooh, kritik, dan protes yang ditujukan kepada
pendidik itu sering menyakitkan. Tapi bukankah kesakitan adalah niscaya dalam
transformasi kehidupan, entah dalam proses metamorfosis atau kelahiran. Pada
kesadaran keniscayaan “kesakitan” dalam penyelenggaraan pendidikan itulah
penyelenggaraan pendidikan seperti termeteraikan. Dalam kesadaran itu juga
pendidikan berpotensi menjadi jalan persembahan hidup dan jalan ziarah yang
kristiani.
Br. Giri dan Br. Totok memberi penjelasan tentang pendidikan
SMA van Lith dan SMK PL Muntilan
Pengalaman pendidik
semacam itu sesungguhnya bisa dieksplorasi lebih kaya. Dalam proses pendidikan,
sesungguhnya bukan hanya peserta didik yang berubah. Pada saat yang sama,
sesungguhnya pendidikpun serentak ikut berubah, bermetamorfosis, atau lahir
menjadi pribadi yang baru. Demikian seterusnya hingga menjadi proses spiral
kehidupan yang progresif. Dalam pendidikan sesungguhnya terjadi proses saling
belajar.
Proses saling
belajar itulah yang bisa dialami sebagai aspek reflektif dalam karya
pendidikan. Banyak pemikir pendidikan meyakini pendidikan akan berhasil bila
terjadi proses reflektif. Pembelaan atau kesaksian siswa-siswi SMU van Lith
tentang pengalaman belajar mereka bisa dibaca sebagai buah pembelajaran yang
reflektif. Namun laku reflektif dalam pendidikan juga mesti terjadi pada para
pendidik. Pengalaman reflektif pendidik dalam dinamika pembelajaran
memungkinkan pendidik mengalami metamorfosis serta proses transformasi hidup.
Dalam dinamika hidup pendidik yang reflektif itu proses pembelajaran tak hanya
membantu meluaskan horizon hidup namun juga membuahkan kedalaman hidup. Pada
bagian inilah, karakter sepertinya dibangun; baik karakter murid namun juga
pendidiknya.
Tentang biaya
Meski van Lith
sadar bahwa orang Jawa sudah susah hidupnya, namun toh van Lith tetap membuat
sekolah berbayar. Tentang uang sekolah, pada masa van Lith, pemerintah
Hindia-Belanda memang sengaja menjadikan uang sekolah untuk membatasi
kesempatan orang pribumi mendapatkan akses pendidikan.
Sadar bahwa
pendidikan membutuhkan uang, maka van Lith pun senantiasa berusaha untuk
memperoleh subsidi pendidikan dari pemerintah. Yang menarik adalah bagaimana
van Lith akhirnya bisa mendapat akses ke pemerintah.
Van Lith dikenal
baik oleh pemerintah, bahkan ia menjadi mitra kerja pemerintah. Ini terjadi
karena “kepakaran” van Lith dalam hal perhatian bagi pendidikan kaum pribumi.
Van Lith dikenal pemerintah sebagai sosok yang mengenal dengan baik budaya
Jawa. Kepakaran inilah yang ikut memberi sumbangan hingga van Lith bisa
mendapat kemudahan dan akses ke pemerintahan.
Belajar dari fakta
itu, sesungguhnya pendidikan kita sejak dulu memang telah punya kesulitan
dengan uang. Perlu dicatat juga bahwa sejak dulu pendidikan Katolik adalah
pendidikan berbayar. Rasanya ini merupakan bagian dari menciptakan dinamika
pendidikan sebagai proses transformasi hidup yang memartabatkan manusia. Pada
konteks van Lith tentu ini juga menjadi terapi masyarakat untuk membangkitkan
kebermartabatan diri, yaitu bertanggungjawab memperjuangkan nasib diri sendiri.
Dalam konteks kini
rasanya juga tak banyak berubah. Sekolah-sekolah Katolik memang terasa berbiaya
mahal karena era sekolah gratis yang diselenggarakan pemerintah kian masif.
Dari banyak pengalaman, sesungguhnya bantuan pemerintah untuk sekolah-sekolah
swasta cukup besar. Yang dibutuhkan adalah efektif/efisiensi, akuntabilitas,
dan transparansi pengelolaan dana-dana tersebut. Tentu masih dibutuhkan
sejumlah dana untuk keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan karena sekolah
butuh perawatan dan penyelenggaraan berkepanjangan.
Salah satu
keutamaan Gereja yang kini telah sering dipandang sumbang adalah tradisi
subsidi silang. Demi keberlangsungan sekolah Katolik, tradisi ini bisa
diupayakan dalam berbagai bentuk kreativitasnya. Sekolah tak bisa dibiarkan
sendiri mengelola tradisi ini. Kalau pada akhirnya sekolah tak lagi mampu
menggerakkan tradisi subsidi silang pada pengguna lembaga pendidikan Katolik,
gereja mesti bersiap diri menjadi konduktor langgam subsidi silang ini.
Sementara itu,
bagaimanapun sekolah Katolik harus aktif mendapat akses ke pemerintahan. Akan
lebih baik bila akses ke pemerintahan itu didapat seperti van Lith
mendapatkannya, yaitu karena “kepakaran”. Maka pemberdayaan pelaku pendidikan
perlu juga diorientasikan demi akses ke pemerintahan, demi pengelolaan karya
pendidikan yang berkelanjutan.
Apa yang bisa dilakukan sekarang?
Mengusung tradisi
dan karakter sekolah Katolik seperti yang diperjuangkan van Lith di zaman ini
memang bakal menemui banyak tantangan. Pendidikan telah cukup lama digerakkan
dalam sikap memuja nilai, menonjolkan intelektual dan mengabaikan keragaman
kecerdasan.
Sadar akan
tantangan yang kian kompleks, maka rasanya baik bila ada upaya untuk
bersama-sama menegaskan apa sesungguhnya tantangan yang dihadapi
penyelenggaraan pendidikan kita saat ini? Jangan-jangan setiap sekolah begitu
asyik dengan menghadapi tantangan lokalitasnya, yang diasumsikan sebagai
tantangan pendidikan aktual nasional saat ini.
Bila van Lith telah
melahirkan karakter pendidikan Katolik sebagai pendidikan yang memartabat
manusia agar manusia bisa mendapat akses untuk menentukan nasibnya dengan lebih
baik, maka baiklah bila roh pendidikan Katolik ini sering dihangatkan. Dalam
kesibukan dan ragam kerepotan mengelola sekolah Katolik menghadapi
problem-problem praktis hari-hari ini, roh pendidikan Katolik yang telah
diperjuangkan van Lith tak pernah boleh dilupakan dan diabaikan. Sebab inilah
yang membuat pendidikan Katolik menebar aura yang khas, yang pada akhirnya juga
menjadi magnet bagi kehidupan hari-hari ini.
Pendidikan Katolik
yang dimulai di Muntilan adalah pendidikan yang mengakar pada atau terus
merawat keutamaan keluarga serta masyarakat. Prinsip ini diperjuangkan agar
kelak pada saatnya peserta didik dapat menjadi aktor perubahan. Maka, para
penyelenggara pendidikan tetap terus mengenal dinamika kehidupan yang membentuk
peserta didik. Serentak, pendidik juga perlu terus berusaha untuk mengenal
tantangan dan solusi yang mungkin. Peserta didik perlu dibantu untuk berproses
dan mempolakan diri untuk menjadi insan yang transformatif. Pendidikan yang
menyelenggarakan dinamika aktif reflektif rasanya sangat membantu.
Pendidikan tak bisa
dilepaskan dari uang. Sekolah Katolik perlu dibantu untuk dapat terus
menyelenggarakan pendidikan. Umat dan orang tua perlu dibantu untuk merasa
perlu terlibat dengan penyelenggaraan pendidikan. Kolekte untuk sekolah
katolik, belajar dari “kolekte untuk sekolah pastor” yang pernah terjadi di
beberapa paroki KAS beberapa waktu lalu mungkin bisa menjadi salah satu cara.
Bercermin dari van
Lith, bagaimanapun karya pendidikan Katolik adalah bagian dari karya Gereja.
Maka, salah satu karakter yang utama yang tak boleh luntur apalagi hilang
adalah menempatkan karya pendidikan ini dalam karya penyelenggaraan Allah. Ada
beragam kesulitan, namun para pengelola pendidikan Katolik tak pernah boleh
ragu, luntur, apalagi berpaling dari karakter meletakkan karya pendidikan dalam
penyelenggaraan Allah.
1. Senin,
9 Februari 2015 : Syukur atas kehadiran Lembaga Hidup Bakti dan
perhatiannya dalam karya pendidikan.
Tema 1: Syukur atas kehadiran Lembaga Hidup Bakti
dan perhatiannya dalam karya pendidikan
Beberapa poin
yang terungkap dalam proses novena:
Tujuan pendidikan
Katolik menurut Gravissimum Educationis adalah untuk pendewasaan pribadi
manusia dan mendidik mereka yang telah dibaptis untuk makin mendalami misteri
keselamatan dan kurnia iman yang diterimanya, supaya dengan demikian mencapai
kedewasaan yang cukup serta tumbuh mencapai kepenuhan dalam Kristus.(GE 2)
Orang tualah penanggungjawab pertama dan utama akan pendidikan Katolik untuk
anak-anak mereka. Keluarga-keluarga perlu menciptakan iklim semangat bakti
kepada allah, kasih sayang terhadap sesama, dan komunikatif bagi kelangsungan
pendidikan anak-anak (GE 3). Memang dalam hal tertentu, keluarga perlu dibantu
oleh pihak lain, seperti sekolah sebagai pendukung fungsi pendidikan tersebut.
Fungsi sekolah diharapkan lebih daripada sekedar media pemacu kemampuan
kognitif anak. Lebih dari itu, sekolah diharapkan menjadi sebuah komunitas
pembelajaran sosial, kultural, moral, dan religiositas yang melibatkan keluarga-keluarga, para guru, bermacam-macam
perserikatan yang memajukan hidup berbudaya, kemasyarakatan dan keagamaan,
masyarakat sipil dan segenap keluarga manusia. (GE 5)
Romo van Lith mulai merintis komunitas pendidikan Xaverius College
di Muntilan ini sebagai komunitas dimana orang Jawa bisa dididik untuk
menentukan sendiri masa depannya.
Tujuan kita adalah memberi pendidikan yang tinggi
kepada pemuda-pemuda Jawa, sehingga mereka mendapat kedudukan yang baik di
dalam masyarakat. Kepada mereka kita memberi pendidikan Kristiani, dan bila
mereka nanti tersebar di seluruh Pulau Jawa, kita akan menanti tumbuhnya dan
mekarnya benih-benih yang kita sebar. Yang kita sebar dan kita tanam adalah
pekerjaan caritas. Dan sekolah adalah wadah juga untuk pekerjaan caritas yang
dibutuhkan. Mengapa? Orang-orang Jawa di negaranya sendiri hidup tertekan
karena orang-orang Belanda dan Indo yang berlagak sebagai orang-orang berkuasa
dan orang-orang kaya. Sekolah akan membuka jalan baginya untuk membuang tekanan
itu. (Hasto Rosariyanta (Ed) Gereja Katolik
Indonesia, Bercermin Pada Wajah-Wajah Keuskupan, Kanisius, 2001, hlm. 288.)
Kompleks Xaverius College Muntilan
Sekolah Guru Bantu Muntilan semakin berkembang. Kehadiran para
Bruder FIC dan Suster-suster Fransiskan semakin menerangi jalan pembebasan
tersebut. Para Bruder FIC mengembangkan konvik-konvik di Muntilan, sementara
para Suster mulai dari Mendut. Muntilan dengan konvik-konvik rumah studi
menekankan pada lima hal, yaitu pendidikan formal, pendidikan spiritual,
pendidikan mental, pendidikan musik (estetika dan keindahan), dan pendidikan
asrama. Dalam banyak hal, dinamika pergolakan kemerdekaan Republik Indonesia
juga mempengaruhi perkembangan dinamika pendidikan. Namun demikian, di Muntilan
ini setidaknya sudah pernah dimulai gagasan-gagasan dasar pendidikan yang turut
membentuk hidup bangsa.
Dewasa ini, masalah pendidikan jauh lebih kompleks lagi.
Sekolah-sekolah Katolik mau tidak mau harus ikut dalam iklim persaingan mencari
murid, lomba adu pintar murid, perubahan kurikulum, dan hilangnya jiwa
komunitas edukasi itu sendiri. Orang tua dihantui dengan ketakutan mengenai
biaya sekolah yang dikatakan mahal – bahkan terutama di sekolah Katolik.
Anak-anak dihantui ketakutan tidak lulus. Sekolah dihantui ketakutan akan
status sekolah.
Jalan Kartini Muntilan sampai saat ini masih diwarnai dengan wajah
sekolah-sekolah Katolik yang didampingi oleh para Bruder, Suster, dan Paroki.
Masihkah ada kemungkinan untuk menyalakan kembali semangat pendidikan Romo van
Lith, mendidik dengan visi dan roh pembebasan tersebut? Bahkan asrama
Marsudirini diberi keterangan sebagai Asrama Mendut Yunior, tetapi masihkah
nama Mendut itu sendiri juga berarti sesuatu baik bagi sekolah, orang tua,
maupun anak-anak?
Kami berharap bahwa dari butir-butir refleksi tersebut bisa
disimpulkan sesuatu yang akan menerangi harapan dan kerinduan kita akan visi
pendidikan Katolik.
Sekiranya
tidak berkeberatan, bolehlah kami memohon agar Bruder menulis mengenai:
1.
Visi pendidikan macam apa yang ditawarkan
Romo van Lith (Muntilan – Mendut) untuk situasi dan kebutuhan pada zaman itu?
2.
Model pendidikan macam apa yang kiranya
patut disumbangkan sebagai kekhasan pendidikan Katolik (mulai dari Muntilan)
bagi bangsa saat ini?
3.
Hal-hal konkret-praktis apa yang kiranya
bisa menjadi masukan-masukan untuk para formator, umat-Dewan Pastoral Paroki,
pelaku-pemerhati karya pendidikan Katolikuntuk ikut merasakan semangat edukasi
van Lith?